Pertanian merupakan sub sektor yang memiliki kedudukan yang strategis dibandingkan dengan sub sektor lainnya, sehingga pembangunan ekonomi pada sektor ini harus menjadi penggerak pembangunan khusus untuk Indonesia yang memiliki luas areal yang di dominasi oleh tanah pertanian.
Terkait dengan sumber pangan masyarakat Indonesia yang dominan terhadap beras, bahwa peran beras belum tergantikan oleh sumber karbohidrat lainnya sedangkan kemampuan petani Indonesia dalam menyediakan kebutuhan pokok pangan rakyat selama ini tidak bisa mencukupi guna menjamin stok cadangan beras secara nasional sehingga pemerintah setiap tahun selalu mengimpor beras. Seharusnya dengan bermodalkan sumber daya alam dalam areal persawahan yang luas, serta sumber daya manusia (petani) yang banyak, maka swasembada pangan sudah seharusnya bisa dicapai tanpa harus impor. Dengan pengadaan impor bahan pokok yang seharusnya dapat diproduksi sendiri menimbulkan permasalahan dimana nasib petani kian tepuruk sehinggan akan meningkatkan jumlah orang miskin. permasalahan yang mendalam juga terkait dengan permodalam bagi petani, Fungsi modal dalam tataran tingkat mikro (usahatani), tidak hanya sebagai salah satu faktor produksi, tetapi juga berperan dalam peningkatan kapasitas petani dalam mengadopsi teknologi seperti benih bermutu, pupuk berimbang, ataupun teknologi pasca panen. Pada era teknologi pertanian yang semakin modern, pengerahan modal yang intensif baik untuk alat-alat pertanian maupun sarana produksi mungkin akan menjadi suatu keharusan. Bagi pelaku pertanian (terutama petani), situasi tersebut dapat kembali memunculkan masalah karena sebagaian besar petani tidak sanggup mendanai usahatani yang padat modal dengan dana sendiri (Syukur et al., 2000).
Untuk menutupi kekurangan modal, petani umumnya mengajukan pinjaman ke lembaga pembiayaan di sekitar tempat tinggal mereka, baik formal maupun informal. Sebagian besar petanani meminjam modal melalui peminjaman informal dengan alasan lebih mudah untuk mendapatkannya, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mayrowani et al. (1998) maupun Syukur et al. (2003) yang menunjukkan masih rendahnya sumber modal usahatani yang berasal dari kredit komersial.
Kredit merupakan salah satu faktor pendukung utama pengembangan adopsi teknologi usahatani. Kredit pertanian bukan sekedar faktor pelancar pembangunan pertanian akan tetapi berfungsi pula sebagai satutitik kritis pembangunan pertanian (critical point of development) (Syukur et al.,1998). Peran kredit sebagai pelancar pembangunan pertanian antara lain: (1) membantu petani kecil dalam mengatasi keterbatasan modal dengan bunga relatif ringan, (2) mengurangi ketergantungan petani pada pedagang perantara dan pelepas uang sehingga bisa berperan dalam memperbaiki struktur dan pola pemasaran hasil pertanian, (3) mekanisme transfer pendapatan untuk mendorong pemerataan, dan (4) insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi pertanian. Sementara sebagai simpul kritis pembangunan, kredit berfungsi efektif untuk menunjang perluasan dan penyebaran adopsi teknologi.
Perkembangan program kredit pertanian yang telah diterapkan oleh pemerintah meliputi :
Program BIMAS
Program ini merupakan program yang berorientasi pada pembangunan pertanian secara umum dan swasembada beras. Program ini merupakan bimbingan yang berhubungan dengan aplikasi ilmu dan teknologi dalam rangka mencapai hasil yang optimal. Dana kredit disediakan dari subsidi pemerintah (BI) pada tingkat bunga 3 persen per tahun sementara tingkat bunga BRI sebesar 12 persen. Namun program ini berakhir tahun 1983.
Kredit Usaha Tani/KUT
Program KUT diintroduksikan pada tahun 1985 yang secara administrasi ditangani oleh Koperasi Unit Desa (KUD). Program ini merupakan salah satu dari programlanjutan dengan dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) bagi petani yang telah mengembalikan 100 persen pinjaman program Bimas, dengan tingkat bunga 3 persen. KUT disediakan untuk petani yang belum memiliki kemampuan menyediakan kebutuhan yang diperlukan untuk usahatani dari sumber pembiayaan sendiri. KUT disalurkan melalui kantor cabang BRI ke KUD yang didistribusikan pada para petani anggota KUD.
Fakta menunjukkan bahwa banyak kredit yang tidak sampai pada petani miskin akibat sangat rendahnya tingkat pengembalian. Sejak program ini diaplikasi-kan, besarnya pembayaran kembali hanya sekitar 25persen. Tingkat bunga yang ditetapkan berubah, yaitu sebesar 14persenpada tahun 1985-1995 dan diturunkan menjadi 10,5persenpada tahun 1995-1998/99. Ketika dampak dari krisis ekonomi dan kombinasi dengan El-Nino, KUT bahkan disalurkan melalui NGO dan LKM. KUT berakhir seiring dengan UU no 23/1999 yang melarang BI untuk menyalurkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Total KUT yang telah disalurkan sampai tahun 1999 mencapai sebanyak Rp 8 triliun. KUT menghadapi permasalahan berupa tingkat pengembalian yang hanya 25persen.
Kredit Ketahanan Pangan (KKP)
Pemerintah mengganti KUT dengan kredit program yang diperbaharui, yaitu KKP. Aturan padaKKP kembali pada keikutsertaan bank yang berhadapan dengan peluang resiko (executing) menjadikan mereka sangat berhati-hati dan menghindari individu-individu dan organisasi yang masih memiliki tunggakan KUT dan mempunyai riwayat buruk di masa lalu. Tingkat bunga masih disubsidi, dan dengan beberapa modifikasi kredit tersebut masih eksis.KKP ditujukan untuk:(1) intensifikasi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu)dan (2) pengadaan pangan. Target dari KKP adalah kelompok tani dan koperasi. Bank pelaksana adalah BUMN seperti BRI, Bank Agro, Bukopin, Bank Mandiri, dan Bank Pembangunan Daerah. Bank menggunakan dana mereka dalam penyaluran KKP tetapi mereka menerima subsidi bunga dari kredit yang disalurkan
Pada tahun 2000, pemerintah mengaplikasikanKKP dengan flafon Rp 2,08 triliun untuk paket tanaman padi, palawija, perkebunan tebu, peternakan. Subsidi tingkat bunga dibayar pemerintah yang secara bertahap dikurangi sampai 2003. Sumber pendanaan tergantung pada bank yang bersangkutan, dengan bunga sebesar 12persenuntuk tanaman pangan dan 16 persen untuk peternakan, perkebunan dan perikanan.Pada tahun 2006 sudah disalurkan sekitar Rp 4,98 triliun. Maksimun pinjaman per petani (BRI) adalah Rp 15 juta dengan maksimum pemilikan lahan 2 ha dan periode pinjaman 12 bulan. Dalam perkembangannya KKP ini sejak tahun 2007 diubah nomenklaturnya menjadi KKP-Energi. Hingga tahun 2008 (posisi Juni) telah disalurkan sekitar Rp 6,30 triliun. Dari total dana yang disalurkan tersebut penyerapan yang terbesar digunakan untuk pengembangan budidaya tebu, disusul untuk pengembangan peternakan serta pengembangan padi, jagung dan kedelai.
Kendala dalam KKP adalah adanya kehati-hatian ekstra dari bank yang masih trauma dengan kasus KUT sehingga pencairan dana relatif lambat,relatif terbatasnya agunan yang dimiliki petani dan terbatasnya avalis/guarantor kredit di pasar financial.
BLM/BPLM/PMUK
Departemen Pertanian memperkenalkan program Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP) pada tahun 2001 dengan menggunakan dana BLM. Dana BLM ini merupakan dana bergulir yang disalurkan langsung ke kelompok tani (klomtan) yang diharapkan dapat diputar dalam kelompok.
Pada tahun 2002, Deptan juga meluncurkan program yang disebut Proyek Pembangunan Agribisnis berbasis Komunitas (PPABK) melalui Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). BPLM merupakan design ulang dari BLM dalam konteks desentralisasi yaitu pengelolaan di tingkat kabupaten/kota dengan melibatkan penyuluh pertanian dalam peningkatan kapasitas petani dalam kredit, seleksi group dan monitoring.
Pada tahun 2003,dengan adanyaProgram Pemberdayaan Masyarakat Agribisnis melalui Penguatan Modal Kelompok, BPLM lebih difokuskan untuk lebih menitikberatkan pada penguatan modal dalam klomtan, meneruskan pola perguliran modal dan memperkuat modal kelompok. Program ini untuk mempromosikan kepemilikan dari kelompok dengan menekankan pada kontribusi anggota dalam memajukan bisnis, memperkuat monitoring dan menyarankan Dinas dan mitra pembangunan lainnya seperti universitas, NGO serta pihak swasta untuk terlibat.
Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA)
Konsep pengembangan LKMA diintroduksikan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) pada saat terjadi keterbatasan anggaran pemerintah pada tahun 2004/2005 (defisit). Di pihak lain, Direktorat Pembiayaan, Deptan pada tahun 2001 memformulasikan kebijakan untuk mengoptimalkan sumber dana yang berasal dari luar Deptan seperti lembaga perbankan dan non perbankan, pendanaan dari donor, dan juga pembiayaan yang dikelola oleh masyarakat. PembentukanLKMA ini merupakan langkah berikutnya dari program BLM/BPLM dimana setelah kelompok tani yang mendapat dana BLM telah mampu memupuk modal diharapkan dapat membentuk LKM. Selain dari penerima BLM, juga dilakukan dengan mengoptimalkan yang telah ada dengan penekanan agar memperluas cakupan pelayanan kepada petani/kegiatan agribisnis. Program yang dilakukan pemerintah pada dasarnya adalah peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan penyuntikan modal kerja LKMA.
Departemen Pertanian telah memberikan pembinaan serta dukungan terhadap 368 LKMA di 12 provinsi selama periode 2004-2006. Dengan memanfaatkan bantuan dana Second Round Kennedy(SRK), pada tahun 2006 Deptan juga melaksanakan peningkatan kapasitas 30 LKMA yang merupakan trasnformasi dari Baitul Mal wa Tamwil (BMT), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Koperasi Pertanian (koptan) dan Koperasi Pondok Pesantren (kopontren) bersama dengan 30 LKM embrio hasil trasnformasi dari kelompok tani di beberapa provinsi.
30Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 7No. 1, Maret2009: 21-42Proyek Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K)
P4K merupakan suatu proyek penyuluhan (pendidikan nonformal), yang membimbing dan memotivasi petani-nelayan agar mau dan mampu menjangkau sumber daya pembangunan yang tersedia untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarganya. Sasaran P4K adalah petani-nelayan dan keluarganya serta rumah tangga perdesaan yang hidup di bawah kemiskinan.
rogram ini merupakan kegiatan kerjasama antara Departemen Pertanian, khususnya Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) serta BRI, untuk meningkatkan kemampuan dan membantu Petani Nelayan Kecil (PNK) dan masyarakat miskin di perdesaan, sehingga mereka mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya dan lepas dari kemiskinan. Masyarakat miskin dimotivasi untuk bergabung dalam kelompok, didampingi untuk belajar bersama dan ditumbuhkembangkan kemampuannya. Diharapkan pada suatu saat mereka mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidupnya sendiri.
Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan/DPM-LUEPDPM LUEP
DPM merupakan dana talangan tanpa bunga dari APBN yang harus dikembalikan oleh penerima dana tersebut ke kas negara setiap akhir tahun. Tujuan penyelenggaraan kegiatan DPM-LUEP adalah: (1) melakukan pembelian dalam rangka menjaga stabilitas harga gabah/beras yang diterima petani minimal sesuai HPP; (2) mendekatkan petani dan atau kelompoktani terhadap pasar melalui kerjasama dengan LUEP; (3) menumbuhkembangkan dan menggerakkan kelembagaan usahaekonomi di perdesaan; dan (4) memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah.Program DPM LUEP dilaksanakan di sebagian besar provinsi, terutama di provinsisentra produksi padi. Jumlah provinsiyang mendapatkan DPM selalu meningkat setiap tahun yaitu dari 15 provinsi(2003) menjadi 27 provinsi(2007).
Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian /SP3
SP3 merupakan skim program untuk meningkatkan akses petani pada fasilitas kredit/pembiayaan dari bank pelaksana melalui mekanisme bagi risiko (risk sharing) antara bank pelaksana dengan pemerintah. Diharapkan dengan SP3 ini dapat membantu kemudahan akses petani pada layanan perbankan melalui jasa penjaminan bagi petani/kelompoktani skala usaha mikro, kecil dan menengah yang tidak mempunyai agunan yang cukup. Pada SP3 ini lima bank pelaksana yang ikut berpartisipasi adalah Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank Bukopin, Bank Jatim dan Bank NTB.
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan/PUAP PUAP
PUAP PUAP merupakan program terobosan Departemen Pertanian untuk penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja di perdesaan, sekaligus mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah pusat dan daerah serta antarsubsektor. PUAP merupakan bagian tak terpisahkan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang dikoordinasikan oleh Kantor Menko Kesejahteraan Rakyat.Lokasi PUAP awalnya difokuskan di 10.000 desa miskin/tertinggal yang memiliki potensi pertanian dengan total anggaran sebesar Rp 1 triliun. Selanjutnya, berdasarkan kesepakatan dengan komisi IV DPR lokasi PUAP pada tahun 2008 ditambah 1.000 desa lagi, sehingga total desa menjadi 11.000 desa PUAP.
Komposisi desa PUAP terdiri dari program lanjutan Deptan (seperti P4K, Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian/Primatani, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi/ P4MI), usulan pemerintah daerah dan aspirasi masyarakat melalui Komisi IV DPR. Walaupun demikian penetapan desa PUAP tetap dengan mempertimbangkan:(a) data lokasi PNPM-M, (b) data potensi desa (Podes), (c) data desa miskin BPS; (d) data desa tertinggal Kementrian PDT, dan (e) data lokasi program lanjutan Deptan.
Kendala-kendala yang dihadapi program kredit pertanian
Dalam banyak kasus yang terjadi diiringi dengan solusi pengembangan kredit pertanian berdasarkan data dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, perkembangan kredit perbankan untuk sektor pertanian di Jawa Barat (Jabar) dari 2012 hingga 2015 menunjukkan peningkatan yang lamban, dengan porsi yang masih minim dari total pembiayaan bank. Bank Indonesia (BI) Jabar mencatat penyaluran kredit pertanian di Tanah Priangan dalam tiga tahun meningkat hanya Rp1,8 triliun, dari penyaluran sebesar Rp5,5 triliun pada 2012 menjadi sebesar Rp7,3 triliun per Juli 2015.
Adapun penyaluran kredit secara keseluruhan berdasarkan data BI Jabar pada 2012-2015 melonjak lebih drastis, dari sebesar Rp336,3 triliun pada 2012 menjadi Rp507,3 triliun per posisi Juli 2015. Lambannya peningkatan kredit perbankan ini disebabkan oleh beberapa kendala dan permasalahan yang seringkali dihadapi dari sisi petani, di antaranya terkai tisu perkreditan yan gbelum menyentuh petani karena tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal. Hal ini juga didukung dari studi World Bank pada 2010 yang menyatakan bahwa separuh dari populasi Indonesia tisak memiliki akses ke lembaga keungan formal dan seperlima sama sekali tidak memiliki akses jasa keuangan.
Berpaling dari permasalahan diatas diketahui bahwa pada dasarnya program pemerintah dalam membantu pembiayaan di sektor pertanian secara umum diwujudkan dalam dua bentuk, Pertama, bantuan langsung (grant) dan bersifat bergulir. Kedua, kredit komersial dengan bantuan subsidi bunga oleh pemerintah. Pada jenis pertama kelebihannya adalah petani benar-benar dibantu modal secara penuh tanpa ada beban risiko untuk mengembalikan hutang sehingga mereka lebih tenang dalam berusahatani. Selain itu jika dikelola dengan baik oleh kelompok tani ada potensi yang besar bagi petani/kelompok tani untuk pembentukan modal (capital formation) sehingga mereka bisa mandiri dan tidak lagi memerlukan bantuan modal di masa mendatang.
Namun demikian, bantuan modal dengan grant ini juga sarat dengan kelemahan-kelemahan diantaranya: (1) kurang mendidik petani untuk lebih bertanggung jawab dan berperilaku professional dalam penggunaan dana masyarakat, (2) peluang terjadinya moral hazardsangat besar, (3) kontinuitas pelaksanaan sangat tergantung dengan keberadaan suatu proyek sehingga ketika proyek berakhir program pun juga terhenti, (4) rewarddan punishmentsangat lemah, dan (5) sangat membebani anggaran pemerintah dengan output yang tidak terukur secara jelas.
Program Kredit komersial bersubsidi (seperti KKP) memiliki keunggulan di antaranya (1) bunga relatif rendah dan terjangkau, (2) bentuk pinjaman yang sebagian diwujudkan dalam bentuk natura cukup membantu petani sehingga tidak merepotkan petani untuk membeli saprodi di kios/toko saprotan, (3) pengusulan secara berkelompok untuk mendapat kredit juga lebih efisien dan murah, disamping merangsang anggota kelompok untuk bekerja lebih solid, (4) walaupun belum secara maksimal, dalam taraf tertentu dapat mendidik masyarakat untuk lebih bertanggung jawab dan profesional dalam pengelolaan dana masyarakat, serta (5) petani/kelompok tani dapat mengenal prosedur dan mekanisme sistem perbankan sehingga diharapkan seandainya program berakhir mereka sudah terbiasa berurusan dengan perbankan dan bisa secara mandiri mengajukan pembiayaan usahataninya.
Kelemahan dari jenis kredit program bersubsidi ini adalah:(1) masih relatif sulit diakses oleh petani karena syarat pengajuan yang cukup ketat (mirip skim komersial), (2) waktu yang dibutuhkan dari mulai pengajuan kredit hingga realisasi dinilai masih relatif lama, (3) persyaratan agunan yang mengharuskan tanah bersertifikat/BPKB masih sulit dipenuhi, serta (4) dalam kasus tertentu keharusan berkelompok dengan luasan areal minimal yang tertentu juga menjadi problema tersendiri terutama bagi petani berlahan sempit.
Berdasarkan hasil kajian SMERU (2000) tentang kredit bersubsidi untuk keluarga miskin menunjukkan bahwa justru program tersebut banyak dinikmati oleh keluarga tidak miskin. Disimpulkan dalam kajian tersebut bahwa pemilihan penerima program kredit bersubsidi di kebanyakan kabupaten contoh tidak secara khusus ditujukan bagi mereka yang miskin. Dari sisi penerima program, kebutuhan terhadap kredit sangat mungkin lebih banyak datang dari keluarga tidak miskin. Sebaliknya, petugas yang menyalurkan kredit mungkin berpendapat lebih aman memberikan kredit kepada keluarga tidak miskin (tunggakan kecil). Di samping itu kelompok miskin umumnya memang memiliki akses yang lemah atau bahkan tidak ada sama sekali terhadap pengelola program.
Dengan adanya kendala-kendala diatas dibutuhkannya kebijakan yang lebih tegas dan penentuan sasaran-sasaran dalam pemberian kredit. terkait penyaluran kredit di pedesaan Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 6 Sulawesi, Maluku, dan Papua Zulmi mengatakan penyaluran kredit sektor pertanian di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) yang bekerja sama dengan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) mampu melampaui target yang diharapkan. Penyaluran kredit ini, direalisasikan oleh empat bank. yaitu Bank Sulselbar, Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia dan Bank Mandiri bekerja sama dengan partner TPAKD, diharapkan ke depan program ini dapat diperluas ke daerah lain.
Daftar Pustaka
Ashari.(2009).Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian Di Indonesia.
Darmawanto.(2008). Pengembangan Kredit Sektor Pertanian.
BBPP Ketindan. Sejarah Penyuluhan Pertanian Dan Hadirnya Badan Penyuluhan Dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP)
https://bisnis.tempo.co/read/700998/pertumbuhan-kredit-pertanian-lamban-apa-sebabnya
No comments:
Post a Comment